2008 Guandu International Outdoor Sculpture Festival – Taiwan
From the Critic, John K Grande, about the Work of Firman Djamil
Firman Djamil’s Zero Chimney is a powerful sculptural integration at Guandu. Rising up vertically from the ground, this chimney recall the factory smokestacks from the early days of industrialization, but Firman’s is a bio-sensitive chimney that includes corn seeds at its base, a food source that will become a growing part of the art. As part of his artistic process Firman performed a performance ritual that involved public participation an planting of the corn seeds at the opening of the 3rd annual Guandu International Outdoor Sculpture Festival.
Zero Chimney likewise addresses the issue of alternative energy sources, notably the corn-based fuel known as Ethanol. Produced from maize or corn using an agrifuel process, the production of Ethanol is being contested for various reasons, notably that food sources for the world’s poor and disenfranchised are being converted into fuel, but also because water used to cultivate maize/corn for ethanol on huge farms, is not being directed towards our sustainable projects and for basic resource use. The production of one gallon or 3.7 liters of ethanol requires 6.345 liters of fresh water during the maize/corn growth and fermentation process, and there is also irrigation waste, and corresponding environmental damage.
A beautifully aesthetic bamboo construction at Guandu Nature Park, Zero Chimney is nature stack, one that no longer yields gas or carbon emissions in the form of Co2, but fresh air instead. An art with heard that will yield corn, to then be eaten by humans and songbirds, in indeed interactive in a most wholesome, universal and environmental way.
John K Grande, 2008
JOHN K GRANDE
- The author of Balance: Art and Nature (Black Rose Books, 1994 & 2004)
- Intertwining: Landscape Technology, Issue, Artists (Black Rose Books 1998)
- John Grande’s Art Nature Dialogues: Interviews with Environmental Artists
was published by State University of New York Press in 2004 ( www.sunypress.edu )
and in Spanish edition by the Fundacion Manrique in 2005
- John Grande’s Dialogues in Diversity Art from Marginal to Mainstream was
published by Pari Publishing (Italy) in North America in 2007 (
www.paripublishing.com )
- Art Allsorts: Writing on Art & Artists will be available in June 2008 at
www.lulu.com
Seni
Bambu, Seni Lingkungan
Kompas : Sabtu 16 Agustus 2003
Kompas : Sabtu 16 Agustus 2003
Oleh: Efix Mulyadi
KESERTAAN para perupa Indonesia di
dalam berbagai hajatan budaya dunia cukup sering terjadi. Baru saja empat
seniman mengikuti Biennale Venesia, dan beberapa seniman secara sendiri-sendiri
terlibat di pesta-pesta seni di Eropa, Jepang, atau Amerika. Sebuah perhelatan
seni di negeri yang mulai tercatat di dalam peta seni rupa dunia, Korea
Selatan, menarik perhatian seorang perupa asal Sulawesi Selatan. Ia aktif
terlibat di sana sejak awal sampai pertengahan Agustus ini, bersama sejumlah
perupa dari berbagai negeri.
Firman Djamil, perupa Indonesia ini,
tidak membawa apa pun ketika memasuki kancah festival seni tersebut di Gongju,
Korea Selatan. Penyelenggara menganjurkan para peserta untuk "berangkat
kosong", semua kosong bahkan dari sekadar corat-coret di atas kertas untuk
membayangkan pra-konsep karya.
"Saya sungguh tidak tahu apa yang
akan saya buat di sana. Mungkin supaya nantinya lebih spontan, tidak
dibuat-buat," tuturnya dua pekan lalu di Jakarta.
Namun ini bukan pengalaman pertamanya
untuk dengan seketika memutuskan membuat apa dari bahan apa saja. Ia telah
mengalaminya di dalam berbagai kesempatan, meski yang sering dikenangnya adalah
hajatan budaya Sharing Time di Bali tiga tahun lalu. Di kawasan pantai tempat pertemuan
budaya itu ia menemukan daya tarik yang kuat muncul dari arah sebuah pura, dan
daya pukau yang hebat dari arah laut, yang memicu tema karya instalasinya
kemudian.
Pada pesta seni di Fukuoka, Jepang, ia
juga menggunakan material yang ia peroleh di kawasan pertemuan. Itulah
bahan-bahan yang tak terpakai, berupa bambu dan tali, yang ia susun menjadi
karya instalasi dengan ongkos sangat murah karena hanya mengandalkan sedikit
peralatan, material gratis, dan tukangnya dia sendiri.
Hal serupa tampaknya terulang di dalam
2003 Geumgang International Nature Art Exhibition ini. Ketika memasuki kawasan
sepi di luar Kota Gongju, Korea Selatan, ia langsung membayangkan apa yang bisa
dibuat dari material setempat.
Maka ia membayangkan sebuah
lingga-bentuk dan metafor yang tampaknya cukup ia sukai karena muncul di dalam
berbagai kesempatan berkarya. Ia membayangkan bambu, yang baginya juga akrab
karena menjadi tanaman sehari-hari di kampung asalnya, dan masih terus selalu
menjadi bagian dari kebutuhan hidupnya. Beberapa karya meruang atau obyek yang
masih tersimpan di studio merangkap tempat tinggal di kawasan Benteng Somba
Opu, Makassar, juga terbuat dari potongan dan anyaman dari bambu.
Ia mendapat potongan-potongan bambu
lengkap dengan daunnya di sebuah hutan bambu, sekitar tiga kilometer jauhnya
dari taman Sanseong, tempat pameran karya-karya kelak diselenggarakan. Dengan
material itu ia membangun lingganya yang berukuran tinggi 3 meter dan lebar 1,5
meter. Pada bangunan ini ia memberi ruang berupa lubang melingkar 30
sentimeter. Di tengah dinding bangunan ia meletakkan ukiran dari tangkai kayu
berbentuk kemaluan lelaki bersayap, ditambah dua butir telur ayam, yang memberi
kesan seseorang sedang bertapa. Lihatlah judulnya, The Breath of Mother Earth
on Pallus, yang menunjuk pada persoalan alam semesta yang menjadi minatnya.
Karya instalasinya ia letakkan di sebuah kawasan yang menghadap ke Kota Gongju.
Peserta asal Indonesia lainnya, Iswanto
G Hartono, merakit ranting-ranting dan bayang kayu lapuk menjadi bangunan
berukuran empat meter persegi. Bangunan berbentuk sarang burung itu ia
"kerangkeng" dengan jajaran batang bambu yang bersusun ke bawah.
Karya instalasi Iswanto berjudul Connections, yang ia letakkan di lereng
perbukitan dan memiliki pemandangan ke arah rumah penduduk di kejauhan.
Karya-karya para peserta festival
"seni-instalasi lingkungan-alam" ini tentu mengukuhkan kedekatan dan
ketergantungan manusia dengan alam. Itu tampaknya yang mengilhami para peserta,
yang selain Indonesia dan tuan rumah, juga datang dari Polandia, Amerika
Serikat, Thailand, Perancis, Filipina, Australia, Israel, Jerman, dan Denmark.
Menurut Firman Djamil, dari semua
peserta ini, Fred Martin termasuk yang sangat menonjol dari segi konsep dan
visual. Seniman asal Perancis ini setiap hari mencetak wajah pengunjung
workshop-kegiatan yang menyertai festival ini- dari anak berusia satu tahun
sampai orang dewasa, termasuk wajahnya sendiri. Ia melakukannya dengan
mencelupkan wajah ke tanah liat basah. Sampai pada hari pembukaan pameran hasil
festival, 12 Agustus, Martin sudah mengumpulkan 177 buah cetakan wajah.
Semuanya ia gelar di lapangan rumput, sehingga menghasilkan semacam "taman
wajah". Bayangkan taman itu menyimpan jejak dari 177 orang berbagai usia,
berbagai cerita sehari-hari dengan suka dukanya: sebuah upaya dokumentasi
kehidupan yang menarik.
Karya yang berproses seperti itu juga
dijalani oleh perempuan seniman Korea, Kim Hae-Sim. Ia mengolah daun- daunan,
ranting, dan tanah untuk mengisi sebuah cetakan. Setiap hari ia menumbuk daun,
ranting, dan tanah, mencampurnya, dan dimasukkan ke cetakan. Hasil cetakannya
menyerupai kue bolu berlapis dalam warna coklat kemerahan.
Menjelang waktu pembukaan
pameran 12 Agustus (pameran akan berlangsung sampai 12 Oktober), Firman Djamil
mendapat kesempatan memberi karya performance
selama satu jam. Ia membawakan judul The Breathing. Sebelumnya, 31 Juli, ia
juga tampil dengan The Shadows di dalam sebuah hajatan seni di Kota Gongju.
Hajatan-hajatan seni
semacam ini tampaknya menjadi ajang yang menggairahkan para seniman seperti
Firman, yang tengah mengembangkan keseniannya. (efix)
Firman
Djamil Berseni dari Somba Opu
Pergelaran - Kompas: Sabtu 11 Agustus 2003
Oleh: Efix Mulyadi
SEBUAH performance art di tengah sawah
nun jauh di pedalaman? Tampaknya seperti bualan, namun Firman Djamil telah
melakukannya. Lelaki kurus berambut panjang ini menghadirkannya di kawasan Desa
Tabang dan Massanda, yang menjadi batas antara dua kabupaten di Sulawesi
Selatan.
"Kita mesti naik mobil selama
setengah hari, kemudian harus menginap, dan perlu ditambah satu hari lagi
berjalan kaki. Maklum, belum ada jalan untuk kendaraan beroda empat. Yang ada
jalan untuk kuda, naik turun sangat curam," tutur Firman Djamil pekan lalu
di Jakarta, menjelang berangkat ke Korea Selatan untuk mengikuti sebuah
festival seni antarbangsa. Ia diundang untuk berkarya langsung di tempat, di
sebuah kawasan sepi juga di luar Kota Gongju, dalam 2003 Geumgang International
Nature Art Expo, 28 Juli-14 Agustus ini.
Dengan dana terbatas, menurut Firman,
ia merancang sebuah kerja seni yang bisa dilakukan dengan menggunakan peralatan
dan bahan seadanya, yang bisa dijumpai di sekitar. Tuturnya, "Maklum,
bekal ke festival harus saya usahakan sendiri."
Sebaliknya, di tempat terpencil di
pedalaman Sulawesi, seperti tersebut di muka, ia menghimpun sampai 40 orang
relawan. Ia mengawali proyeknya dengan mengajar anak dan remaja menari-ia juga
seorang penari dan kebetulan selama 10 tahun mengajar di sebuah SMP di sana.
Dari merekalah para orangtua menjadi tertarik dan mendukungnya ketika digelar
tanggal 16 Februari 2000. Padahal, inilah kegiatan seni yang di "Barat
sono" menjadi bagian dari upaya para seniman melawan komersialisasi seni,
dan belakangan menjadi tren di kalangan para perupa di berbagai negeri Asia.
Firman Djamil membuat keseniannya
menjadi mirip ritual di tengah sawah dengan para relawan mengenakan pakaian
adat, ikut menari, dan dengan bersemangat menyanyikan tembang Toraja yang
terkesan magis.
Ia memasang tampah berisi tangkai padi,
kelambu, dan membuat semacam ritual untuk "dewi padi", dewi
kesuburan. Penduduk setempat dengan antusias menontonnya dari berbagai
ketinggian sawah-sawah berundak itu. "Kesertaan warga setempat itu
sangat penting, membangkitkan kebanggaan mereka akan adat maupun budaya milik
mereka sendiri," tuturnya.
Arah seni yang dekat dengan lingkungan
setempat dan alam itulah yang membawanya ke berbagai hajatan seni di Indonesia
maupun di beberapa negara lain. Ia sudah tiga kali diundang ke Korea, meski
baru kali ini bisa memenuhinya, dan hanya mengirim rancangan. Judulnya: The
Coitus of Universe.
Tuturnya sambil tertawa, "Aku tak
pernah punya uang berlebih. Masak pergi tanpa punya ongkos?". Dengan
alasan serupa, ia belum memutuskan untuk hadir dalam festival berbeda di negeri
tersebut atau hajatan seni di Taiwan, Macau, dan Singapura tahun ini, maupun di
Jerman tahun depan.
Kalau tahun 2000 lalu ia bersedia
mengisi "2nd Yokohama International Open Air Art Expo" di Jepang,
karena ia memang sangat ingin bekerja di tengah banyak seniman dari berbagai
negara. Alasan lain, panitia memberi uang, meski tidak berlebih. Bahkan,
katanya, ia harus sangat menghemat dengan cara menggunakan peralatan tukang
dari panitia, memakai bahan-bahan tak terpakai, seperti bambu dan tali yang
tersedia di sekitar tempat festival. Kata dia, "Para seniman Eropa banyak
duit, beli bahan dan peralatan apa saja yang mereka mau."
Festival Yokohama itu diikuti tak
kurang daripada Anke Melin dari Jerman, Trudi Entwistle (Inggris), Pal Peter
(Rumania), Harada Akatsuki (Jepang), dan dua seniman Korea, Kang Hae-Jon dan Ri
Eung-woo. Dari Indonesia, selain Firman, juga terlibat seorang perupa tenar,
Dadang Christanto. Banyak dari peserta hajatan seni ini juga bersamanya
hari-hari ini di Korea.
Firman Djamil memang sudah menjadi
bagian dari komunitas kecil seniman instalasi, performance art, dan seni yang
dekat dengan alam. Dan ia berasal dari sebuah kawasan yang bahkan di negeri
sendiri kurang diperhitungkan sebagai daerah yang sehat dalam perkembangan seni
rupa.
Mengingat hal ini, pencapaian posisi
Firman Djamil menjadi lebih bermakna dibanding rekan-rekannya yang sudah go
international dengan nama besar. Sebutlah seperti Heri Dono, Rahmaiani, Eddie
Hara, Entang Wiharso, dan sejumlah nama lain, termasuk Dadang Christanto.
Mereka semua ini terasah di dalam masyarakat seni yang subur di Yogyakarta,
Bandung, atau Jakarta yang relatif sangat mendukung. Sementara itu, di Sulawesi
Selatan sulit mencari lawan dialog dan beradu pendapat di dalam dunia seni
kontemporer.
"Saya berbekal kirim-kiriman
e-mail," tutur Firman Djamil. Dengan penguasaan bahasa Inggris, yang
katanya terbatas, ia mencoba membangun jaringannya sendiri, dan dengan itu
menaklukkan hambatan geografis atau stigma tentang subur dan tidak subur sebuah
kawasan seni rupa. (efix)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar